Senin, 20 Juli 2009

Minggu, 14 Juni 2009

Rabu, 04 Februari 2009

Tunas Kepala

Minggu, 01 Februari 2009

PKN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Secara kodrati manusia merupakan makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa di hadapkan pada realitas sosial yang sangat kompleks, terutama menyangkut usaha pemenuhan kebutuhan dan kelangsungan hidup. Kenyataan ini menimbulkan pemikiran perlunya suatu wadah yang berbentuk asosiasi. Ada berbagai asosiasi seperti asosiasi ekonomi dan asosiasi spiritual. Dari berbagai bentuk asosiasi yang ada, yang terpenting adalah asosiasi negara. Asosiasi ini di dirikan untuk mengatur, baik sistem hukum maupun politik, serta untuk menyelenggarakan perlindungan hak dan kewajiban manusia, dan ketertiban dan keamanan bersama.
Pada zaman Yunani kuno Aristoteles (384-322) dalam buku politica sudah mulai merumuskan pengertian Negara saat itu, istilah polis berarti Negara kota. Yang berfungsi sebagai tempat tinggal bersama warga Negara, dengan pemerintah dan benteng untuk menjaga keamanan dari serangan musuh. Plato guru Aristoteles melihat bahwa Negara timbul karena adanya keinginan dan kebutuhan manusia yang beraneka ragam yang mendorong mereka untuk bekerja sama dalam memenuhi keebutuhan-kebutuhan tersebut. Contoh dari bentuk polis adalah Sparta dan Athena yang pada saat itu sudah mengenal pemerintahan dengan sistem “ demokrasi langsung” Dewasa ini banyak pakar sejarah maupun kenegaraan yang mempercayai terjadimya Negara melelui proses pertumbuhan primer dan sekunder. Terjadinya Negara secara primer, dapat di lihat seperti berikut ini:
a) Suku
Awal kehidupan manusia di awali dari keluarga, kemudian berkembang menjadi kelompok-kelompok masyarakat hukum tertentu ( suku ), pimpinan suku diakui sebagai kepala sukuatau kepala adat yang berkewajiban mengatur dan menyelenggarakan kehidupan bersama, peranan kepala suku dianggap sebagai primus inter pares, artinya orang pertama di antara yang sederajat, kemudian satu suku terus berkembang menjadi satu, dua dan seterusnya menjadi besar. Perkembangan tersebut dapat terjadi karena faktor alami atau karena penaklukan.
b) Kerajaan
Kepala susku yang semula berkuasa di masyarakat hukumnya kemudian mengadakan ekspansi dengan penaklukan-penaklukan ke daerah lain. Hal ini mengakibatkan berubahnya fungsi kepala suku menjadi raja dengan cakupan wilayah yang lebih luas dalam bentu kerajaan. Pada tahap berikutnya karena factor sarana transportasi dan komunikasi yang tidak lancer, menyebabkan terjadinya pemberontakan, mengahadapi situasi demikian raja segera bertindak mencari dana melalui berbagai cara untuk membeli senjata dan membengun tentara yang kuat dan sarana vital lainya. Dengan tentara yang kuat raja menjadi berwibawa terhadap daerah kekuasaanya sehingga mulai tumbuh kesadaran akan kebangsaan dalam bentuk Negara nasional. Pada awalnya pemerintahan diperintah oleh raja yang absolute dengan pemerintahan tersentralisir. Sesmua rakyat dipaksa mematuji kehendak dan perintah raja
c) Negara demokrasi
Dari fase Negara nasional, secar bertahap rakyat mempunyai kesadaran batin dalam bentuk perasaaan kebangsaan. Adanya kekuasaan raja yang mutlak menimbulkan keinginan untuk memegang pemeriontahan sendiri, rakyat menghendaki kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Hal tersebutn mendorong lahirnya Negara demokrasi. Di sini ada beberapa macam demokrasi antara lain: Atas dasar penyaluran kehendak rakyat, mencakup : Demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung. Atas dasar prinsip idiologi, mencakup: Demokrasi konstitusional (demokrasi liberal ) dan demokrasi rakyat.


Dalam masalah demokrasi di Indonesia sendiri telah malaksanakan system pemerintahan dalam bentuk parlementer dan presidensil. Dari kedua system tersebut mempunyai kekuatan dan ciri-ciri tersendiri, dan untuk itu kami membatasi permasalahan dengan memprioritaskan system presidensil.
B. Tujuan pembuatan makalah
1) Menyelesaikan tugas mata kuliah pendidikan Pancasila
2) Untuk mendapatkan pemahaman tentang pengaruh demokrasi terpimpin / system pemerintahan presidensil dalam tatanan pemerintahan Indonesia.
3) Mengetahui ciri-ciri, factor-faktor yang mempengaruhi system pemerintahan tersebut.
4) Mengambil manfaat untuk kemajuan Indonesia dalam bidang pendidikan.
C. Ruang lingkup
System pemerintahan presidensil di Indonesia
D. Hipotesis
Dengan pemerintahan kuat akan tercipta Negara yang kuat sehingga mampu bersaing di kancah internasional “amin”

E. Sumber
1) Dasar-dasar ilmu tata Negara( Drs, Budiyanto )
2) Aspirasi pemerintahan konstitusional di Indonesia(Adnan buyung nasution)
3) Partai kekuasaan dan militerisme (Bambang cipto)
F. Metode dan teknik
Deskriptif dan komparatif.
System Pemerintahan Presidensil
a. Demokrasi
Demos artinya rakyat, kratein artinya pemerintah, hal ini bererti adanya kekuasaan tertinggi yang di pegang oleh rakyat. Menurut Abraham linkoln demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam perkembangan demokrasi selanjutnya semakin di butuhkan sebagai system pemerintahan oleh Negara-negara di seluruh dunia.
Menurut Hans kelsen pada dasarnya demokrasi itu adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat, jadi dalam perkembanagan demokrasi dewasa ini dapat kita peroleh gambaran sebagai berikut.
Ciri-ciri pemerintahan presidensil:
1) Di kepalai oleh seorang Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif (kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala Negara)
2) Kekuasaan eksekutif presiden di jalankan berdasarkankedaulatan rakyat yang di pilih dari dan oleh rakyat melaui badan perwakilan
3) Presiden punya hak prerogratif untuk mengangkat dan memberhentikan para pembantunya (menteri) baik yang memimpin departemen maupun nondepartemen.
4) Menteri-menteri hanya beertanggung jawab kepada presiden bukan kepada DPR
5) Presiden tidak bertanggung jawab kepeada DPR. Oleh sebab itu antara presiden dan DPR tidak dapat saling menjatuhkan.

Kamis, 15 Januari 2009

PENGETAHUAN (PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT)

BAB I

PENDAHULUAN

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran dari norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainya. Dalam filsafat pancasila terkandung didalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikira ini merupakan suatu nilai, Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek prasis melainkan suatu nilai yan bersifat mendasar.

Nilai-nilai pancasila kemudian dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma tersebut meliputi norma moral yaitu

(more)

yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian yang ke dua adalah norma hukum yaitu suatu sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia, pancasila juga merupakan suatu cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara dan berasal dari bangsa indonesia sendiri sebagai asal mula (kausa materialis).

Pancasila bukanlah merupakan pedoman yang berlangsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum baik meliputi norma moral maupun norma hukum, yang pada giliranya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.


BAB II

PENGERTIAN

1. Pengertian

a. Etika

Etika merupakan suatu pemikiran kritis yang mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral terentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi etika khusus yaitu etika yang membahas prinsip dalam berbagai aspek kehidupan manusia sedangkan etika umum yaitu mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia (Suseno, 1987).

Menurut Kattsoff, 1986 etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia, dan juga berkaitan dengan dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.

b. Nilai

Nilai atau “Value” termasuk kajian filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiologi, theory of Value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tyentang nilai-nilai. Istilah ini di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan” (Worth) atau kebaikan (Goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian, (Frankena, 229).

Dalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences Dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yan menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. (The believed copacity of any abject to statisfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kwalitas yang melekat pada suatu obyek, bukan obyek itu sendiri.
c. Politik

Pengertian politik berasal dari kosa kata ‘Politics’ yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara. Yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan daari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan atau Decisionmaking mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala perioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih.

Untuk melaksanakan tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum atau public policies. Yang menyangkut pengaturan dan pemabgian atau distributions dari suber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan suatu kekuasaan (Power) dan kewenangan (authority) yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat Persuasi, dan jika perlu dilakukan pemaksaan (Coercion). Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka (Statement of intent) yang tidak akan pernah terwujud.

Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik kegiatan berbagai kelompok termasuk paratai politik, lembaga masyarakat maupu perseorangan. Berdasarkan pengertian-pengertian pokok tentang politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decionmaking), kebijaksanaan (policy), pembagian (allocation). (Budiardjo, 1981: 8,9)

d. Etika Politik

Secara subtantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subyek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam hubunganya dengan masyarakat bangsa maupun negara, Etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa maupun negara bisa berkembang kearah keadaan yang tidak baik dalam arti moral.Aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia, (Lihat suseno, 1987: 15)

Sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti :

1. Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan negra (John Locke)

2. Kebebasan berfikir dan beragama (Locke)

3. Pembagian kekuasaan (Locke, Montesque)

4. Kedaulatan rakyat (Roesseau)

5. Negara hukum demokratis/repulikan (Kant)

6. Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)

7. Keadilan sosial

2. Prinsip-prinsip Dasar Etika Politik Kontemporer

a. Pluralisme

§ Dengan pluralism dimaksud kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya dan adat.

§ Mengimplikasikan pengakuan terhadap kebabasan beragama, berfikir, mencari informasi dan toleransi

§ Memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan kelompok orang

§ Terungkap dalam Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada orang yang boleh didiskriminasikan karna keyakinan religiusnya. Sikap ini adalah bukti keberadaban dan kematangan karakter klektif bangsa

b. HAM

§ Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti kemanusiaan yang adil dan beradab, karena hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakuakan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia

§ Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dimana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi dan sebaliknya diancam oleh Negara modern

§ Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, meliankan karena ia manusia, jadi dari tangan pencipta

§ Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menolak kekerasan dan eklusivisme suku dan ras

c. Solidaritas Bangsa

§ Solidaritasd mengatakan bahwa kita tidak hanya hidup untuk diri sendiri melaikan juga demi orang lain

§ Solidaritas dilanggar kasar oleh korupsi. Korupsi bak kanker yang mengerogoti kejujuran, tanggung jawab, sikap obyektif, dan kompetensi orang/kelompok orang yang korup

d. Demokrasi

§ Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tidak ada manusia atau sebuah elit, untuk menentukan dan memaksakan bagaimana orang lain harus atau boleh hidup

§ Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana tujuan mereka dipimpin

§ Demokrasi adalah kedaulatan rakyat dan keterwakilan. Jadi demokrasi memerlukan sebuah sistem penerjemah kehendak rakyat kedalam tindakan politik

Dasar-dasar demokrasi

§ Kekuasaan dijalankan atas dasar ketaatan terhadap hukum

§ Pengakuan dan jaminan terhadap HAM.

e. Keadilan Sosial

§ Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat,

§ Keadilan sosial mencegah dari perpecahan

§ Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideolodis, sebagai pelaksana ide-ide, agama-agama tertentu. Keadilan adalah yang terlaksana

§ Keadilan sosial diusahakan dengan membongkar ketidak adilan dalam masyarakat

3. Dimensi Politik Manusia

a. Manusia Sebagai Makhluk Individu-Sosial

Berbagai paham antropologi filsafat memandang hakikat sifat kodrat manusia, dari kacamata yang berbeda-beda. Paham individualismeyang merupakan cikal bakal paham liberalisme, memandang manusia sebagai makhluk individu yang bebas, Konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat, bangsa, maupun negara dasar ontologis ini merupakan dasar moral politik negara. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan da tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu. Sebaliknya kalangan kolektivisme yang merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme mamandang siafat manusia sebagi manusia sosial sauja. Individu menurut paham kolekvitisme dipandang sekedar sebagai sarana bagi amasyarakat. Oleh karena itu konsekuensinya segala aspek dalam realisasi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara paham kolektivisme mendasarkan kepada sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filsofi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagi invidu dan segala aktivitas dan kreatifitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini dikarenakan manusia sebagai masyarakat atau makhluk sosial. Kesosialanya tidak hanya merupakan tambahan dari luar terhadap individualitasnya, melainkan secara kodrati manusia ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa tergantung pada orang lain. Manusia didalam hidupnya mampu bereksistensi kare orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena dalam hubunganya dengan orang lain.

Dasar filosofi sebagaimana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah monodualis yaitu sbagai makhlukindividu dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan indonesia bukanlah totalis individualistis. Secara moralitas negara bukanlah hanya demi tujuan kepentingan dan kkesejahteraan individu maupun masyarakat secara bersama. Dasar ini merupakan basis moralitas bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, sehingga konsekuensinya segala keputusan, kebijaksanaan serta arah dari tujuan negara indonesia harus dapat dikembalikan secara moral kepada dasar-dasar tersebut.

b. Dimensi Politis Kehidupan Manusia

Dimensin politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.Dimensi ini memiliki dua segi fundamental yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakan moral manusia, sehingga mausia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau akibat yang ditimbulkan karena tindakanya, akan tetapi hal ini dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya terhadap manusia lain dan masyarakat. Apabila pada tindakan moralitas kehidupan manusia tidak dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapai hak orang lain dalam masyarakat, maka harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif. Lembaga penata normatif masyarakat adalah hukum. Dalam suatu kehidupan masyarakat hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif dan otomatis menjamin agar setiap anggota masyarakat taat kepada norma-normanya. Oleh karena itu yang secara efektif dapat menentukan kekuasaan masyarakat hanyalah yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lemabaga itu adalah negara. Penataan efektif adalah penataan de facto, yaitu penatan yang berdasarkan kenyataan menentukan kelakuan masyarakat. Namun perlu dipahami bahwa negara yang memiliki kekuasaan itu adalah sebagai perwujudan sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Jadi lemabaga negara yang memiliki kekuasaan adalah lembaga negara sebagai kehendak untuk hidup bersama (lihat Suseno :1987 :21)

4. Nilai-nilai pancasila Sebagai Sumber Etika Politik

Sebagi dasar filsafah negara pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, malainkan juga merupakan sumber moraliatas terutama dalam hubunganya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta sebagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” serta sila ke dua “kemanusiaan yang adoil dan beradab” adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, Etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijlankan sesuai dengan Asas legalitas (Legitimasi hukum) , secara demokrasi (legitimasi demokrasi) dan dilaksanakan berdasrkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral). (Suseno, 1987 :115). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenagan harus berdasarkan legitimimasi moral religius serta moral kemanusiaan. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaran negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku.

Etika politik ini harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara,

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Etika politik termasuk lingkup etika sosial yang berkaiatan dengan bidang kehidupan politik, politik juga memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik negara dan menyangkut proses penentuaan tujuan dari sebuah sitem yang diikuti oleh pelaksananya, yang menyangkut kepentingan masyarakat (publikols) dan bukan tujuan pribadi.

Dalam hubungan dengan etika politik pengertian politik harus dipahami dalam pengertian yang lebih luas yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk sesuatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara. Dalam kapasitas moral kebebasan manusia menentukan tindakan yang harus dilakukan dan yang tidak dilakukan dengan cara mengambil sikap terhadap alam dan dan masyarakat sekelilingnya untuk penyesuaian diri.

Sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan indonesia bukanlah totalitas individualistis ataupun sosialistis melainkan monodualistis sehingga segala keputusan kebijaksanaan serta arah dari tujuan harus dapat dikembalikan secara moral tertentu.

2. Saran

Pancasila hendaknya disosialisasikan secara mendalam sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dalam berbagai segi terwujud dengan adanya kesianambungan usaha pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan kepastian masyarakat untuk mengikuti dan mentaati peraturan yang ditetapkan, karena kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kondisi pemerintah yang absolut dengan adanya dukungan rakyat sebagai bagian terpenting dari terbentuknya suatu negara.


DAFTAR PUSTAKA

Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yokyakarta, Paradigma

Thamiend Nico, Tata Negara, Ghalia Indonesia, Yudhistira

Suseno Franz Magnis, Titik Temu Etika Politik, 04 Mei 2008

Jumat, 02 Januari 2009

TAHUN BARU 2009

HAPPY NEW YEAR...................................................
Ini adalah awal tahun 2009. Dengan awal tahun ini berarti awal dari kehidupan yang baru, walaupun tanpa disadari dengan datangnya tahun ini berarti umur kita juga berkurang. Namun tergantung dari orang yang menjalani kehidupan, ada orang yang bisa memanfaatkan tahun baru dengan memperbaiki dan menjadikan kekurangan atau kesalahan sebagai guru untuk menuju masa depan yang lebih baik, karena kehidupan yang baru tidak berarti kalau tidak dapat memperbaiki kekurangan yang ada pada tahun yang lalu atau kesalahan-kesalahan yang dilakukan pada tahun yang sudah tidak dapat kembali lagi,

Sabtu, 20 Desember 2008